FILOSOFI RITUAL QURBAN DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN SOSIAL

QURBAN, menyegarkan kembali ingatan kita kepada sejarah pengorbanan yang luar biasa yang telah dilakukan oleh sosok Nabiyullah Ibrahim As bersama keluarganya, Siti Hajar dan Ismail As.
Pengorbanan luar biasa dari sosok Nabiyullah Ibrahim As bersama keluarganya ini dijadikan oleh Allah SWT  sebagai patron untuk menjadi teladan bagi seluruh ummat manusia sepanjang zaman.Hal ini diakui dan dinyatakan sendiri oleh Allah SWT  dalam sebuah firman-Nya :قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ

Artinya: “Sungguh adalah bagi kamu menjadi contoh teladan yang baik tentang kehidupan Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya”. (QS. Al-Mumtahanah : 4).

Dalam ayat ini tertera kata uswah / teladan, sebagaimana Allah menggambarkan keteladanan Rasulullah SAW, yaitu keteladanan Nabi Ibrahim dan keluarganya yang patut diikuti untuk mendapatkan kehidupan yang ideal di era millenial ini. Nabi Ibrahim adalah sosok pemimpin dan orang tua yang sangat disiplin dan sabar dalam membina kader dan keturunan, yang diharapkan menjadi pemimpin umat islam dalam memperjuangkan hak-hak kemanusiaan dan mempertahankan eksistensi keimanan.

Inilah hari besar kemanusiaan dan keimanan, yang ditandai dengan syiar penyembelihan hewan kurban, untuk mengenang peristiwa pengorbanan Nabi Ibrahim setelah beliau menerima wahyu Ilahy melalui mimpi, yang memerintahkan beliau menyembelih puteranya, Nabi Ismail AS. Seorang ayah yang sudah berusia lanjut, dan sedang mencurahkan kerinduan kepada buah hatinya karena begitu lamanya menunggu pujaan hatinya, dimana harapan Nabi Ibrahim tertumpah pada kader muda penerus risalahnya, sekaligus putera beliau yang sedang menanjak dewasa.

Dalam keadaan demikian, datanglah perintah Ilahy untuk menyembelih putra kesayangan dan satu-satunya itu. Sungguh ujian yang amat sukar dan berat dilaksanakan. Ketika Nabi Ibrahim bersiap-siap menyembelih dengan pisau di tangan, dan Ismail pun siap menyerahkan lehernya untuk disembelih, tiba-tiba terdengar panggilan Allah :

وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ. قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ. إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاءُ الْمُبِينُ. وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ

Artinya: “Hai Ibrahim, sungguh engkau telah membenarkan mimpimu, dan Kami pun memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Itu (peristiwa) benar-benar merupakan ujian yang nyata, dan Kami tebus anak itu dengan ternak sembelihan yang besar.” (Qs. Ash-Shaffat, 37:104-107).

Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail diuji dengan ujian yang amat berat, karena ia harus menghadapi dilema pilihan yang sama-sama berat, yaitu antara “ Iman Dan Eman”. Memilih iman berarti ia harus menyembelih anak yang sangat dicintainya. Dan kalau memilih eman, maka berarti ia tidak tunduk kepada Allah. Begitu juga Ismail, jika ia memilih iman berarti ia harus merelakan jiwanya untuk disembelih, dan jika memilih eman tentu ia termasuk orang-orang yang ingkar terhadap Allah. Namun, keduanya telah memenangkan imannya di atas eman-eman yang menghantuinya. Mereka berdua pun dengan penuh keikhlasan dan kesabaran tunduk melaksanakan perintah Allah. Endingnya, beliau berdua lulus melaksanakan ujian Allah walaupun akhirnya Allah mengganti Nabi Ismail dengan seekor Domba atau kambing sebagai kompensasinya. Kenapa harus Domba atau kambing sebagai penggantinya…? Akan dibahas edisi berikutnya….!

Qurban merupakan perbuatan agung yang memantul dari keteguhan iman, kerendahan hati, dan tawakkal sepenuhnya kepada Allah  SWT. Dan balasan Allah SWT atas ketaatan mereka berdua sungguh dambaan setiap orang beriman. Mereka dianugerahi kekuatan menundukkan hawa nafsunya demi mematuhi perintah Allah. Selain itu, mereka berdua mendapatkan pujian dan keridhaan Allah, mengangkat derajatnya serta memberikan syafaat bagi keturunan yang mewarisi pola hidup tauhid yang beliau dakwahkan sampai pada era ini.

Disatu sisi, qurban merupakan manifestasi perbuatan manusia dengan Tuhannya, namun disisi yang lain, makna penyembelihan ini juga merupakan prilaku manusia dengan manusia lainnya. Ketika baik hubungannya dengan manusia maka berarti ia baik ibadahnya kepada Allah dan sebaliknya apabila tidak baik ibadahnya terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa maka akan berimplikasi tidak baik pula hidup sosial dengan sesamanya. Hal ini mendasarkan pada hadits riwayat Ibn Masʻūd yang menyampaikan:

وروي عن ابن مسعود وقد روي مرفوعا إلى النبي صلى الله عليه و سلم أنه قال ” ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما رآه المؤمنون سيئا فهو عند الله سيء “

Artinya: “Apa yang oleh kaum muslimin dipandang baik, maka baik pula menurut Allah dan sebaliknya sesuatu yang dikatakan jelek oleh manusia maka jelek pulalah disisi Allah.”

 

Ritual Qurban yang sangat berpotensi memberikan ruang dan waktu untuk melakukan kebaikan dengan sesamanya, setidak-tidaknya harus dilakukan secara maksimal. Baik dari sisi niat, pelaksanaan atau bahkan ketika pendistribusiannya. Karena bagaimanapun terkadang ibadah yang baik berujung dengan hasil yang jelek hanya semata-mata karena salah satu perangkatnya dilaksanakan dengan tidak baik.

Qurban tidak semata ibadah vertikal, tetapi juga horizonal. Manusia yang berkurban sama saja dengan menyejahterakan sesama. Bahkan dengan ber-qurban, kita juga dapat menebar persaudaraan. Jadikanlah ibadah ber-Qurban salah satu media untuk mempererat hubungan kemanusiaan karena dengan mempererat ini bisa menjadikan kedekatan manusia kepada Tuhannya. Barokallah…